Opini: Mencermati Dampak Bansos PKH di Bidang Pendidikan dan Kesehatan

- Sabtu, 29 Mei 2021 | 09:12 WIB
MN Aba Nuen (Guru SMAN Kualin-TTS, Anggota Agupena NTT)
MN Aba Nuen (Guru SMAN Kualin-TTS, Anggota Agupena NTT)

  SURVEI yang dilakukan Microsave Consulting Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Sosialdan Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) yang dirilis pada 2019 mengungkap capaian positif Program Keluarga Harapan (PKH) di Indonesia. PKH adalah program pemberian bantuan sosial (bansos) bersyarat kepada keluarga miskin yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat (KPM). Pada tahun 2021, pemerintah menganggarkan bantuan program PKH senilai Rp28,7 triliun dari total anggaran bansos Rp110 triliun. Studi Microsave Consulting yang dituangkan dalam laporan berjudul "Report on findings of Impact Evaluation of Program Keluarga Harapan" menemukan capaian penting PKH di bidang pendidikan dan kesehatan. Dua bidang ini merupakan pintu masuk pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan kronis. Karenanya, para beneficiaries PKH harus terdaftar dan hadir pada fasilitas kesehatan dan pendidikan terdekat. Kewajiban penerima manfaat di bidang pendidikan adalah mendaftarkan dan memastikan kehadiran anggota keluarga ke satuan pendidikan dasar dan menengah. Sementara kewajiban di bidang kesehatan meliputi pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil, pemberian asupan gizi dan imunisasi serta timbang badan anak balita dan anak prasekolah. Menurut survei, di bidang pendidikan, 78 persen anak-anak KPM bersekolah secara regular. Di sekolah, anak-anak KPM yang mampu meraih prestasi akademik sebanyak 5 persen, olahraga 4 persen dan 1 persen anak berprestasi di bidang seni budaya. Survei juga menemukan sebanyak 74 persen responden mengaku memakai dana PKH untuk membeli peralatan sekolah, 67 persen untuk biaya transportasi ke sekolah, 42 persen untuk biaya ekstrakurikuler sekolah, serta 33 persen menggunakannya untuk biaya masuk sekolah di tahun pelajaran baru. Tulisan ini tidak untuk menyanggah validitas data temuan survei Microsave tersebut, tetapi sebagai guru, saya mencoba menyandingkan beberapa fakta yang mungkin luput dari survei tersebut. Dalam wawancara dengan 60 siswa penerima manfaat di sekolah tempat saya mengajar, salah satu jawaban para siswa yang mengejutkan yakni anak-anak ini tidak tahu berapa banyak dana PKH yang menjadi hak mereka, dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Ini disebabkan anak-anak tidak dilibatkan dalam merencanakan belanja kebutuhan pendidikan mereka. Hak anak atas dana tersebut mestinya diwujudkan melalui pelibatan dalam belanja kebutuhan pendidikan mereka. Fenomena ini memunculkan asumsi, jangan-jangan dana yang diterima justru tidak menyentuh urusan pendidikan anak-anak KPM. Idealnya, dana bansos harus bisa membentuk persepsi dan perilaku orangtua untuk mendukung pendidikan anak. Di bidang kesehatan, survei Microsave menunjukan 92 persen KPM mendatangi fasilitas kesehatan (rumah sakit/puskesmas) untuk mengakses layanan kesehatan. Kaum ibu penerima manfaat PKH yang menggunakan fasilitas KB mencapai 48 persen.   Problem Survival   Fakta lapangan menunjukan ada kesalahan persepsi para ibu terhadap keberlangsungan status mereka sebagai KPM PKH. Dari petugas medis di desa, saya mendapat keluhan adanya kelompok ibu hamil berisiko tinggi yang hadir di posyandu. Para ibu yang hamil dengan kategori risiko tinggi, di antaranya adalah mereka yang berusia di atas 40 tahun, dan telah memiliki lebih dari lima anak. Dari kelompok ini, petugas mendapat jawaban tak terduga, hamil dan berpartisipasi dalam kegiatan posyandu merupakan cara mereka mempertahankan status sebagai KPM PKH. Ada semacam kekhawatiran di kalangan keluarga (problem survival), bahwa mereka tak lagi menjadi KPM PKH. Opsi untuk bertahan menjadi KPM mendorong para ibu untuk punya bayi agar sang ibu bisa hadir di posyandu, dan berlanjut mengirim anak ke bangku sekolah. Hamil dan memiliki anak agar tetap mendapat bantuan pemerintah, ini pointnya. Gejala tersebut menunjukkan ketergantungan para penerima manfaat PKH dengan cara yang justru dapat memperpanjang rantai kemiskinan. Secara umum, PKH mungkin mampu mengubah perilaku ibu-ibu dengan rajin hadir di fasilitas kesehatan, tetapi pada saat yang sama, timbul kecendrungan memperbanyak kehamilan yang kontraproduktif dengan prinsip membangun keluarga sehat sejahtera. Kehamilan yang baik adalah kehamilan yang direncanakan. Ibu harus sehat fisik dan mental. Selama masa kehamilan, kecukupan asupan gizi penting agar tumbuh kembang janin sehat. Kampanye pentingnya asupan gizi dalam 1000 hari pertama kehidupan sulit dilaksanakan, jika jarak kehamilan tidak diatur. Hamil berulang dan memiliki banyak anak menjadi beban secara ekonomi, fisik dan mental ibu. Jarak kehamilan harus diatur agar orangtua punya cukup waktu merawat dan berbagi kasih sayang kepada anak-anak. Kehamilan yang tidak dipersiapkan dengan baik, cenderung membawa dampak turunan yang tidak produktif. Mengurus banyak anak tentu saja membutuhkan tenaga dan biaya. Keluarga yang besar membutuhkan fondasi ekonomi yang kuat. Karakter keluarga miskin di Indonesia umumnya rapuh di bidang ekonomi. Maka, melahirkan banyak anak tetapi mengabaikan aspek kesehatan, gizi, dan pendidikan mereka, itu akan memicu gelombang generasi yang rentan pada stunting, keterbatasan kognitif, dan tidak punya daya saing secara akademik. Ini salah satu ancaman besar bonus demografi Indonesia. Anak-anak yang lahir dan tumbuh dengan kondisi stunting, kelak akan menjadi beban bagi negara, karena kurangnya produktifitas dan rentan pada penyakit. Kondisi ini akan memperlebar lingkaran setan kemiskinan yang masif. Sayang sekali, jika lingkaran kemiskinan baru justru tumbuh dari ikhtiar mulia pemerintah mengurangi angka kemiskinan itu sendiri. Intervensi pemerintah mengentaskan kemiskinan kronis melalui PKH sangat membantu keluarga miskin agar tetap punya daya beli, mempertahankan pola konsumsi keluarga termasuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Di tengah resesi ekonomi akibat pandemi, dengan beban jumlah penduduk miskin hingga September 2020 mencapai 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang per Maret 2020, bantuan sosial seperti PKH ibarat madu, manis rasanya bagi keluarga miskin. Namun, di sisi lain, bansos PKH juga bisa menjadi racun bagi KPM, jika ia menciptakan ketergantungan, apa lagi dengan cara memperbanyak anak agar tetap mendapatkan bantuan pemerintah. Fenomena tersebut mungkin tidak terjadi secara masif, tetapi indikasi ini menandakan ada penyimpangan perilaku kelompok KPM tertentu yang mencemaskan. Karenanya, butuh kerja keras para pendamping di lapangan untuk mengedukasi KPM agar spending dana untuk urusan pendidikan anak lebih tepat guna, dan mendorong perilaku para ibu untuk merencanakan kehamilan yang aman melalui program KB. Ekspektasi akan terciptanya kemandirian dan perilaku positif KPM sangat ditentukan oleh kualitas pendampingan.

Editor: Administrator

Terkini

Politik dalam Budaya

Selasa, 23 Mei 2023 | 12:41 WIB

Misi Gereja Masa Kini

Rabu, 17 Mei 2023 | 20:03 WIB

Antara Urusan Politik dan Urusan Keluarga

Jumat, 12 Mei 2023 | 06:55 WIB

Polisi Kembali Kepada Jati Dirinya

Senin, 8 Mei 2023 | 23:59 WIB

Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Daerah

Kamis, 4 Mei 2023 | 09:50 WIB

Pangan di Jemari Perempuan Tani

Kamis, 20 April 2023 | 12:17 WIB

Antara VBL, ESK, dan Kelor Perubahan

Selasa, 18 April 2023 | 13:36 WIB

Membaca Moral-Menggugat Kekuasaan

Selasa, 28 Maret 2023 | 23:43 WIB
X