Oleh Ito Naimnanu
(Fakultas Filsafat Unwira-Kupang)
DALAM pencarian literer filsafat, kita mungkin dipertemukan dengan sosok Aristoteles dengan ajarannya tentang "kebahagiaan" (eudaimonia). Untuk hidup baik (euzen) sebagai manusia beradab, manusia membutuhkan tatanan kehidupan bersama dalam satu masyarakat.Tujuan tatanan hidup bersama adalah kebahagiaan. Maka setiap pemimpin (eksekutif, legislative dan judikatif) terpanggil untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat ialah pemimpin yang mempunyai arĂȘte(Yunani) atau virtue (Latin): keutamaan-keutamaan (etis-moral, tinggi pengetahuan dan dalam kebajikan spiritual). Keutamaan ini lahir dari pengetahuan dan keakraban terus menerus dengan kebaikan.
Hakekat pemimpin terhadap yang dipimpin terkonstruksi dalam prinsip memberi diri dan mengorientasikan diri untuk mensejahterakan rakyat. Supaya adanya kesejahteraan maka pemimpin harus mengupayakan terjadinya keadilan. Gagasan tentang keadilan diuraikan oleh Plato dalam karyanya Republica, merujuk pada suatu tindakan kolaboratif yang berintensi untuk mewujudkan keuntungan bagi setiap partisipan. Kesejahteraan bersama (bonum commune) akan tercapai bila para figur demokrasi (pemimpin) secara tegas menegakkan keadilan.
Pemimpin yang adil adalah dia yang mengusahakan dan mewujudkan keselarasan dan keharmonisan dalam seluruh tatanan masyarakat. Masyarakat itu adil bila setiap anggota memperoleh kedudukan sesuai kodrat dan tingkat pendidikan (masyarakat pekerja, masyarakat penjaga, masyarakat pemimpin). Dalam usaha terwujudnya keadilan maka, meminjam apa kata Machiavelli, menjadi pemimpin tidak perlu dicintai intinya jangan dibenci.
Supaya jangan dibenci pemimpin harus berkharakter singa bukan untuk ditakuti rakyat tetapi supaya seorang pemimpin tidak takut untuk ada bersama rakyat dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Pemimpin berkharakter singa inilah yang ditegaskan lagi didalam lambang injil Markus. Singa adalah keberanian tanpa kematian. Berani bertindak bukan untuk menakuti rakyat tetapi untuk menakuti siapa saja yang mengancam hak baik rakyat. Inilah yang menjadi alasan penulis untuk mengangkat tulisan ini dengan judul, Memaknai dan Merelevansikan Lambang Injil Markus dalam Membaca Kepemimpinan Perspektif Niccolo Machiavelli.
Makna Lambang Injil Markus
Sejak zaman dahulu, manusia telah mengamati habitus binatang dan mencoba menggunakannya dalam arti kiasan atau simbolis. Dalam Kitab Suci sendiri hal ini telah dipakai baik dalam perjanjian lama maupun baru. Simbol binatang dipakai sebagai sarana ilustrasi yang sangat efektif untuk menunjukkan eksistensi diri. Dalam tulisan ini, penulis akan melakukan telaah teoritis makna lambang injil Markus, tetapi perlu lebih dahulu mengetahui siapa itu Markus.
Nama lengkapnya, Yohanes Markus. Dia memiliki kedekatan dengan Santo Barnabas dan merupakan anggota komunitas Kristen yang pertama di Yerusalem. Dia mendampingi Santo Paulus dan Santo Barnabas dalam tugas-tugas misionaris di Pulau Siprus. Kemudian dia juga berada di Roma bersama Santo Paulus dan Santo Petrus. Dia menulis Kitab Injil kedua di Roma sebelum tahun 60. Dia menulis Injilnya dalam bahasa Yunani bagi kaum non-Yahudi yang menjadi Kristen. Menurut tradisi dia mendirikan Gereja di Alexandria, Mesir, dan menjadi uskup di sana, dan menjadi martir di jalanan kota tersebut.
Injil Markus dilambangkan dengan singa bersayap yang berarti kebangkitan. Lambang ini dipilih karena injil Markus dimulai dengan kisah misi Yohanes Pembaptis, sebagai "suara yang berseru-seru di padang gurun". Lambang singa bersayap, juga menunjuk pada Nabi Yesaya pada waktu ia memulai Injilnya, "Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.. Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: "Lihatlah Aku menyuruh utusanKu mendahului Engkau, Ia akan mempersiapkan jalan bagiMu; ada suara orang yang berseru di padang gurun: persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagiNya". Suara orang yang berseru di padang gurun mengingatkan kita pada auman singa dan roh nubuat yang turun ke bumi mengingatkan orang akan "pesan bersayap".
Dalam kepercayaan kuno, secara umum singa adalah simbol keberanian tanpa kematian, kekuatan, keberanian dan kesetiaan. Jika di udara, elang dianggap sebagai penguasa tertinggi, maka di tanah singa adalah penguasa. singa adalah salah satu simbol kepemimpinan. Ini tidak hanya dilihat sebagai pemimpin di bumi tetapi juga di alam spiritual.
Di dunia sekarang singa merupakan interpretasi keberanian manusia. Imajinasi manusia selama berabad-abad menganggap singa sebagai tanda keagungan, salah satu dapat dilihat dalam kisah The Cronicle of Narnia, dimana sosok singa bernama Aslan dianggap sebagai penguasa dan penjaga dunia Narnia.
Filosofi Kepemimpinan Machiavelli
Niccolo Machiavelli, filsuf abad Pencerahan, pemikir Florentin yang tersohor berkat karya serta gagasannya. Ia pernah menjadi sekretaris negara, namun tidak bertahan lama. Pasalnya, dinamika politik tidak mudah diselesaikan dan semakin berkobar. Terjadi perpecahan politik dalam negeri Italia bagian Roma, Milan, Venesia.
Karya monumental Machiavelli adalah "The Prince" dan "Discourse". Seorang Hitler sampai 'takluk' membaca The Prince, bahkan juga Napoleon Bonaparte yang nyaris tidak meninggalkan karyanya untuk dijadikan bantal tidurnya. Pula Benito Mussolini menjadikan karya Machiavelli sebagai pedoman kekuasaannya.
Penulis ingin mengajak untuk kembali menerjemahkan Point Of View dari filsafat politiknya Machiavelli terutama yang melatar-belakanginya, serta sumbangsih gagasan-gagasannya pada dunia.
Seorang politikus tidak akan pernah berhasil jika belum menempatkan buku-buku Machiavelli di bawah bantal tidurnya. Seorang politikus tidak akan berhasil jika belum meletakkan singa di hatinya, demikian kata Benito Mussolini dari Nicolo Machiavelli. Bagi Machiavelli, tugas atau hakikat politik bukan saja mengatur tentang bagaimana rakyat harus berperilaku tetapi bagaimana seorang harus berkuasa karena itu kharakter singa mutlak perlu. Seorang pemimpin tidak perlu takut ketika tidak dicintai, yang penting tidak dibenci rakyat. Supaya tidak dibenci rakyat, pemimpin harus berkharakter singa bukan untuk menakuti rakyat tetapi tidak takut untuk ada bersama rakyat dalam menyusun strategi pemakmuran rakyat.
Komparasi teoritis antara filosofi Machiavelli dengan lambang Injil Markus membidang dalam satu makna yang sama. Kehadiran singa yang dipakai dalam Injil Markus merupakan interpretasi pembebasan. Suara singa yang mengaum membangkitkan kelelapan manusia dalam dosa sebab saatnya akan tampil pemimpin yang menahkodai untuk masuk dalam kebebasan dan keselamatan. Tampil seorang Yohanes yang berseru-seru di padang gurun, persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya, sebab yang akan datang ini adalah penguasa di atas segalanya untuk memanusiakan manusia. Maka karakter kepemimpinan gaya Machiavelli pantas dipakai untuk seorang politikus supaya tidak takut menyuarakan kebenaran dalam kondisi apapun.