Setiap tahun tanggal 16 Oktober dirayakan sebagai Hari Pangan Sedunia. (HPS). Tahun ini untuk kedua kalinya HPS dirayakan dalam suasana, ketidakpastian,keterpurukan dan kegelisahan akibat covid-19. Dalam situasi sosial demikian ada pertanyaan yang selalu mengemuka, bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan ke depan?
Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam pangan lokal sebagai sumber karbohidrat dan lautan yang luas sebagai sumber protein ikani. Namun kecenderungan impor menyebabkan visi bangsa ini pada pembangunan sector pertanian berkelanjutan tidak pernah jelas. Kondisi ini menjadi tantangan sendiri dari para pemimpin publik di setiap jenjang pemerintahan.
Hampir setiap saat ada situasi keterdesakan yang dihadapi. Sembilan bahan pangan strategis yang ketersediaannya harus dapat dipenuhi setiap waktu mendorong pemerintah membuka keran impor. Pilihan impor untuk menjaga stabilitas pangan ibarat pisau bermata dua. Pertama, pilihan tersebut mampu meredam gejolak pasar. Namun pilihan yang sama menyedot anggaran yang tidak sedikit. Sekadar menyebut contoh, tahun 2019, alokasi anggaran untuk mengimpor pangan
diperkirakan Rp 500 triliun. Sepuluh tahun ke depan, jika tidak ada perbaikan dalam kebijakan pangan lokal, alokasi dana untuk mengimpor pangan diprediksi akan melonjak menjadi Rp 1.500 triliun (Sibuea, Kompas, 15 Oktober 2021).
Kebiasaan impor bahan pangan berimplikasi pada tekad dan kesungguhan pemerintah untuk membangun infrastruktur pertanian yang memadai bagi peningkatan produksi pertanian. Secara akumulatif kebijakan ini merobohkan ketahanan pangan nasional maupun local dan menciptakan
ketergantungan.
Pangan tidak hanya berkorelasi dengan masalah kelaparan tetapi juga masalah kesehatan, sosial, ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu pangan berkoneksi langsung dengan pembangunan manusia secara berkelanjutan (Sustaiable Development Goal). Komitmen Indonesia untuk mencapai perwujudan SDGs pada 2030 menjadi ujian tersendiri. Salah satu tujuan global di dalam komitmen itu adalah mengurangi kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi, serta pertanian berkelanjutan. Salah satu poin penting pembangunan pertanian berkelanjutan adalah kebijakan produksi pangan lokal yang ramah lingkungan.
Belum lama ini Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis laporan bertajuk ”Melacak kemajuan pada indikator SDG terkait pangan dan pertanian 2021” (Tracking progress on food and agriculture-related SDG indicators 2021Rilis dilaksanakan bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi Sistem Pangan (PBB) di Roma pada akhir September 2021.
Pada September 2019, Forum Politik Tingkat Tinggi juga mencatat bahwa dunia ”keluar jalur” untuk memenuhi SDGs. )” (Toto Subandryo, Kompas, 16 Oktober 2021). Situasinya saat ini belum membaik
secara signifikan, bahkan pandemi Covid-19 telah membuat perkembangan beberapa indikator SDG menurun.
Lagi-lagi respons penting dan tepat waktu yang harus dilakukan adalah meningkatkan ketahanan pangan. Karena pangan adalah elemen penting yang menyentuh keberlangsungan hidup manusia.
Respons ini tidak terbatas pada level Negara tetapi juga pada strata pemerintahan daerah di setiap level. Bagaimana dengan kita di Nusa Tenggara Timur (NTT)?
Mengubah Mindset