SEKIRA tiga minggu yang lalu saya melakukan perjalanan menggunakan pesawat melalui Bandara Internasional El Tari Kupang. Di luar sana, sebagaimana perkiraan BMKG, terjadi cuaca buruk. Beberapa penerbangan mengalami penundaan. Alhasil banyak penumpang menumpuk di bandara.
Hampir seluruh sudut ruangan bandara terisi penumpang. Tidak mendapat tempat duduk, beberapa penumpang berdiri atau duduk di lantai. Hanya ada satu ruangan yang nyaris kosong.
Ruangan ini bersebelahan dengan ruangan merokok. Ada tulisan “Reading Corner” di atas pintu. Memang jika diartikan ialah “Sudut Baca”, tapi saya menyebutnya “Ruang Baca”.
Baca Juga: NTT : Nanti Tuhan Tolong?
Di ruang baca hanya ada saya dan seorang pengunjung lain. Kami memilah-milah buku lalu membacanya. Sudah hampir dua jam kami berada di ruangan ini namun tidak ada penambahan pengunjung lain.
Ruangan baca ini cukup nyaman. Ada tiga lemari buku. Di atas lemari sebelah kiri terdapat tulisan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan di atas lemari bagian kanan bertuliskan Ombudsman.
Buku-buku tersusun dalam tiga rak buku. Tiga lemari buku yang ada di ruangan baca ini semuanya terisi penuh. Sebagian besar buku berasal dari sumbangan Perpustakaan Nasional Indonesia.
Ada buku bacaan anak-anak, buku ekonomi praktis, buku sastra, buku psikologi, buku pariwisata, dan masih banyak lagi. Selain buku cetak, ada juga buku elektronik. Ada tiga komputer di ruangan ini untuk membaca buku elektronik melalui aplikasi Ipusnas dan e-perpusNTT. Ruangan baca ini disponsori oleh POCADI, akronim dari Pojok Baca Digital. Tagline-nya, Pocadi adalah wujud pelayanan publik bidang perpustakaan.
Baca Juga: Opini: Mencermati Dampak Bansos PKH di Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Di ruang baca ini, kita masih dapat mendengar pengumuman keberangkatan dari awak bandara dan pengumuman social distancing dari Satuan Tugas Covid-19. Jadi kita tidak perlu takut ketinggalan pesawat. Jika tidak ada pengumuman lewat pelantang, lamat-lamat kita akan mendengar alunan instrumen musik lagu daerah.
Menyadari bahwa ruang baca tetap sepi, saya bertanya dalam hati, apakah membaca sudah tidak menarik lagi? Apakah membaca sudah bisa dilakukan via Android sehingga orang tidak perlu lagi datang ke perpustakaan atau ruang baca? Atau orang terlalu sibuk memikirkan perjalanannya sehingga tidak sempat melihat-lihat buku, apalagi membacanya? Mungkin begitu.
Lalu saya juga berpikir jangan-jangan sajian bacaan di sudut baca ini tidak menarik? Atau mungkin buku bacaan tersebut terlalu tebal untuk bisa dituntaskan sekali duduk. Dan jika dibaca, akan tanggung karena bacaan belum selesai, sudah dipanggil masuk pesawat.
Untuk menjawabnya, saya melihat-lihat judul dan ketebalan buku yang tersedia. Ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya benar. Hanya ada satu dua buku tebal, semisal buku sejarah. Selebihnya rata-rata buku memiliki tebal sekira dua ratusan halaman. Ada juga buku setebal delapan puluh halaman, semisal buku berjudul Kitab Yang Tak Suci karya Puthut Ea. Banyak judul buku menarik untuk dibaca, salah satunya ialah Delapan Kunci Kecerdasan Finansial karya Pago Hardianz. Siapakah yang tidak ingin cerdas finansial?
Baca Juga: Opini : Kekuatan Derma
Saya membayangkan bagaimana kalau di setiap terminal penumpang tersedia ruangan atau sudut baca. Selama melakukan perjalanan antar daerah, saya melihat sedikit sekali terminal penumpang yang memiliki ruang baca, sebagaimana di Bandara Internasional El Tari Kupang. Sementara di terminal bus, di terminal penyeberangan Ferry, dan di terminal PELNI, saya belum pernah melihat sudut baca. Mungkin saya keliru. Silakan dikoreksi.