Lalu, mengapa selama pandemi Covid-19 DBD seakan hilang dan tidak pernah diperhatikan? Saya kira, semua pihak yang berkaitan dengan sakit dan penyakit (DBD dan malaria) tidak pernah melupakan DBD dan malaria di NTT. Seperti yang dijelaskan di atas, kita memang tidak dilatih untuk berpikir integral dan holistik. Implikasinya, kebijakan yang diambil berkaitan dengan apa pun tidak pernah dibuat untuk puluhan bahkan ratusan tahun.
Maka, dapat dipahami mengapa ketika semua kita hiruk-pikuk karena Covid-19, sakit dan penyakit lain seakan diabaikan. Sesungguhnya, DBD dan malaria tetap saja hadir di beberapa wilayah. Hanya, mengingat arus besar masyarakat sedang menghadapi pandemi Covid-19, DBD dan penyakit lain terpaksa didiamkan saja dulu.
Khusus di NTT, kita semua tentu berharap, ketika DBD muncul, infrastruktur kesehatan tidak kehilangan imaji kesehatan. Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat tidak kehilangan semangat dan insiatif untuk memberantas penyakit ini.
Lepas dari semua itu, kebijakan kesehatan kita perlu kembali diperiksa agar setiap kebijakan yang diambil memiliki visi puluhan bahkan ratusan tahun. Selain itu, habitus antisipatif perlu ditumbuhkan agar kita tidak gagap menghadapi berbagai bencana termasuk bencana kesehatan. (Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang dan
Peneliti Teras Demokrasi Indonesia )