Nono: Mutiara yang Menerangi Problematika Kemiskinan dan Stunting

- Rabu, 1 Februari 2023 | 23:46 WIB
Rafael L Pura, Redaktur Harian Umum Victory News. (Dok. victorynews.id)
Rafael L Pura, Redaktur Harian Umum Victory News. (Dok. victorynews.id)

KILAU kejeniusan Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay yang akrab dipanggil Nono boleh jadi merupakan antitesis dari keterpurukan ekonomi dan kemiskinan yang berdampak pada tingginya prevalensi stunting di NTT, khususnya di daerah asal Nono, Kabupaten Kupang.

Sudah banyak tulisan yang kemudian menyanjung kemampuan numerik Nono. Hebat, cerdas, dan bisa mengalahkan 7.000 peserta dari seluruh dunia dalam lomba Matematika yang digelar lembaga Internasional Abacus Brain Gym.

Namun ada hal-hal yang terlupakan, adalah kealpaan pemerintah terhadap dunia pendidikan dan kesehatan yang masih sepenuhnya mengadopsi sistem birokrasi (administrasi) pelayanan publik western public administration ala Weber, administrasi publik dengan nilai-nilai modernitas model barat.

Baca Juga: Juara Lomba Internasional, Yayasan Generasi Unggul Beri Beasiswa SMP dan SMA Gratis Bagi Nono

Praktik administarsi publik ala Weber, hingga saat ini masih menjadi rujukan untuk meletakkan dasar praktik administrasi publik dengan konsep birokrasinya. Dengan pandangan klasiknya old public administration.

Pemikiran Weber menjadi dasar munculnya pemikiran-pemikiran mengenai administrasi publik di Indonesia, bahkan dunia.

Konsep birokrasi ini, belum tentu dipraktekan secara utuh dan sesuai konteksnya untuk menyelesaikan persoalan administrasi publik di daerah, mengingat setiap daerah di Indonesia termasuk NTT, memiliki karakteristik yang cukup unik dan berbeda dengan negara lain, baik secara sosial, masyarakat, suku, bangsa, adat istiadat, geogfrafis dan juga kemajemukan budaya yang ada.

Baca Juga: Dulu Viral Seperti Nono, Begini Nasib Joni Si Pemanjat Tiang Bendera Sekarang!

Cahaya pelita kejeniusan Neno, setidaknya menyibak ruang kosong (gelap) pembangunan pendidikan dan kesehatan kita dengan model western public adminitration. Ruang kosong itu akhirnya diisi sendiri oleh ibu kandung Nono.

Ibu kandung Nono seakan membuktikan identitas nilai-nilai kearifan lokal (Indigeneous public administration) juga tak kalah hebatnya, jika dibanding dengan adminitrasi publik model barat.

Dari sini, pemerintah mesti belajar ke Ibunya Nono, dengan mempertimbangkan kearifan lokal dalam pembangunan manusia.

Baca Juga: Presiden Jokowi Umumkan Gaji Kepala IKN Nusantara Sampai Ratusan Juta, Ini Rinciannya!

Kearifan lokal (Indigeneous publik administration) merupakan warisan dalam tata nilai kehidupan yang menyatuh dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan adapatasi terhadap lingkungan dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya dan aktivitas mengelola lingkungan untuk mencukupi kebutuhannya.

Kearifan lokal dapat pula dipahami sebagai usaha manusia yang menggunakan akal budinya, untuk bertindak dan bersikap terhadap suatu objek atau peristiwa, yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. (Wikantiyoso, 2009).

Halaman:

Editor: Paschal Seran

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Politik dalam Budaya

Selasa, 23 Mei 2023 | 12:41 WIB

Misi Gereja Masa Kini

Rabu, 17 Mei 2023 | 20:03 WIB

Antara Urusan Politik dan Urusan Keluarga

Jumat, 12 Mei 2023 | 06:55 WIB

Polisi Kembali Kepada Jati Dirinya

Senin, 8 Mei 2023 | 23:59 WIB

Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Daerah

Kamis, 4 Mei 2023 | 09:50 WIB

Pangan di Jemari Perempuan Tani

Kamis, 20 April 2023 | 12:17 WIB

Antara VBL, ESK, dan Kelor Perubahan

Selasa, 18 April 2023 | 13:36 WIB

Membaca Moral-Menggugat Kekuasaan

Selasa, 28 Maret 2023 | 23:43 WIB
X